GuDang eLmu
this site the web

Keep SMiLe....


Belakangan ini ku melihat salah seorang sahabat ku nampak murung. Kalau ditanya pasti jawabnya singkat, jelas, padat plus muka menunjukkan be te (bosan). Males juga mau tanya-tanya lebih jauh untuk mengetahui kondisi sebenarnya. Kali aja bisa bantu atau menghibur.

“ Ada apa gerangan? Apa yang harus ku lakukan sebagai seorang sahabat?” ucap ku dalam hati

Selama ini ku merasa peran ku sebagai seorang sahabat kurang sekali. Nabi pernah bersabda “Sebaik-baik sahabat atau saudara adalah seseorang yang apabila engkau lupa (khilaf atau melakukan kesalahan) maka ia mengingatkan mu dan apabila engkau ingat, ia membantu mu.” . Yup ku harus membantu mu. Tapi bagaimana caranya? Untuk mendekati kamu saja aku takut dan malas karena muka masam mu. Dengan sikap mu seperti itu aku jadi berburuk sangka juga. Apa kamu marah pada ku, sobat? Ada salahkah aku?

Tidak satu, dua kali kamu seperti itu. Saat ditanya ada apa dengan mu? Kamu selalu menjawab tidak ada masalah. Jika kamu memang tidak ada masalah maka tersenyumlah sobat. Wajah cemberut mu membuat banyak orang tidak nyaman, berburuk sangka, atau bahkan malas ngobrol dan menyapa mu.

Salah satu dosen ku dulu pernah menegur para mahasiswa nya yang berwajah muram, lemas, ngantuk dan tidak bersemangat saat belajar di kelas. Menurut beliau keadaan kita, terutama ekspresi luar kita sebenarnya mempengaruhi orang-orang sekitarnya. Jika di antara kita ada yang lemas, mengantuk, tidak bersemangat, berwajah murung maka orang-orang sekitar kita pasti ada yang tertular atau bisa juga tidak nyaman. Dosen sebagai pengajar juga merasakan tidak nyaman dan tidak bersemangat dalam mengajar jika ada mahasiswa malas, lemes, ogah-ogahan atau tidak bergairah dalam belajar. Begitu juga sebaliknya.

Tetap masih menurut dosen ku, setiap diri kita mengeluarkan energi sesuai kondisi kita yang akan mempengaruhi kondisi orang lain yang melihatnya. Kalau energi negatif yang kita keluarkan seperti, lemas, murung, tidak bersemangat dan lain sebagainya maka yang akan diterima orang yang melihatnya adalah energi negatif juga. Akibatnya sikap yang diberikan oleh si penerima sebagian negatif pula. Begitu juga kalau energi positif yang kita keluarkan seperti, tersenyum, lemah lembut, sopan, bersemangat, antusias, dan sebagainya maka orang yang melihat dan berinteraksi dengan kita akan menerima energi positif kita. Apa yang akan kita terima, sobat? Orang menyapa kita dengan balik senyuman, berinteraksi dengan kita merasa nyaman, melakukan sesuatu dengan semangat pula de el el.

Ketika kita merasa sudah memberikan energi positif namun tak berbalas dengan sikap positif, Insya Allah tetap bernilai ibadah, sobat. Bukan kah senyum kepada saudaramu adalah ibadah?

Tersenyumlah sobat...

Tidak semua orang peduli dengan masalah kita, yang mereka fikirkan adalah bagaimana sikap kita terhadap mereka? Saat duduk di sekolah menengah pertama ku pernah memiliki motto “Meski hati terluka, namun bibir tetap tersenyum”. Meski berat, ku coba terapkan motto itu saat sedih dan hasilnya membuat kondisi hati ku lebih baik walaupun masalah belum terselesaikan 100%.

I Love You Sobat... Keep SmiLe !!!

CIRI-CIRI KEMODERENAN DALAM PEMIKIRAN AL-AFGHANI DAN MUHAMMAD ABDUH

Ketika kondisi umat Islam saat itu digambarkan suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan aqal dalam memahami syari’at Allah atau mengistimbatkan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya para pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan aqal (jumud), serta yang berdasarkan khurafat-khurafat, Muhammad Abduh muncul dengan pemikirannya yang membebaskan aqal fikiran dari belenggu-belenggu taqlid. Menurut Abduh hal inilah yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haqnya salaful ummah, yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an dan Hadits.

Menurut Muhammad Abduh, aqal dapat mengetahui hal-hal berikut ini:

1. Tuhan dan sifat-sifat-Nya.

2. Keberadaan hidup di akhirat.

3. Kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik,kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat.

4. Kewajiban manusia mengenal Tuhan.

5. Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat.

6. Hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.

Bagi Muhamamd abduh, di samping mempunyai daya fikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, maka ia bukan manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia dengan aqalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.

Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan aqal dan kebebasan memilih bagi manusia di atas menampakkan segi pemikiran Muhammad Abduh tersebut mencirikan kemoderenannya.

Tak jauh beda dengan Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani berpendapat bahawa umat Islam ketinggalan kerana kejumudan dan ‘ketaatan’ mereka pada tradisi. Dalam keadaan ini, kejayaan umat Islam hanyalah cita-cita yang kosong belaka. Dalam salah satu tulisannya di dalam al-‘Urwah al-Wusqa, beliau menegaskan bahawa tindakan manusia bersumberkan dari pada fikiran. Tindakan ini memperkukuhkan fikiran yang dibawanya. Kebekuan fikiran dan tindakan yang berlangsung terus meneruslah yang menyebabkan kemunduran dalam dunia Islam.

Disamping itu, Afghani mengagungkan pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tak melihat adanya kontradiksi antara Islam dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan Barat dapat dipisahkan dari ideologi Barat. Barat mampu menjajah Islam karena memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi itu, sebab itu kaum Muslim harus juga menguasainya agar dapat melawan imperialisme Barat. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah alat, sedangkan tujuan yang ingin dicapai ditentukan oleh agama Islam. Di sini sudah tampak bibit pandangan instrumentalistik, yaitu anggapan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat untuk prakiraan dan pengendalian, dan sama sekali tak berbicara tentang kebenaran. Pandangan al-Afghani ini didukung oleh gagasannya bahwa Islam menganjurkan pengembangan pemikiran rasional dan mengecam sikap taklid. Dalam hal ini yang dianjurkannya bukan hanya pengkajian ilmu pengetahuan tetapi juga pengembangan filsafat Islam yang telah lama mandek.

Dua pandangan inilah al-Afghani yang menjadikan dia termasuk tipe modernism dalam tipologi yang diklasifikasikan Rahman.

PEMBAHARUAN MADRASAH

A. Aspek Sejarah Berdirinya

Madrasah sebagai institusi pendidikan kegamaan di Indonesia memiliki sejarah panjang. Pada zaman penjajahan Belanda, madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah (1908, dimotori Syekh Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri Madrasah Schoel di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada 1918 mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah Schoel. Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang (1907). Lalu, Madrasah Nurul Uman dididirikan H. Abdul Somad di Jambi.

Madrasah berkembang di Jawa mulai 1912. Ada model madrasah-pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Muallimin Wustha, dan Muallimin Ulya (mulai 1919); ada madrasah yang mengapropriasi sistem pendidikan Belanda plus, seperti Muhammadiyah (1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsnawiyah, Muallimin, Muballighin, dan madrasah Diniyah. Ada juga model Al-Irsyad (1913) yang mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin dan Tahassus; atau model madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan madrasah pertanian.

Menurut keterangan Maksum (1999) madrasah di Indonesia masih bisa dianggap sebagai perkembangan lanjut atau pembaharuan dari lembaga pendidikan pesantren dan surau. Menarik untuk dicatat bahwa diukur dari ketentuan-ketentuan fisik pada abad 11-12 M struktur pesantren di Indonesia agaknya menyerupai madrasah di Baghdad abad 11-12 M. dalam madrasah abad pertengahan, syekh atau professor ditempatkan sebagai pemegang otoritas, sedangkan fungsi sama dipegang oleh figur Kyai, yang tidak hanya berfungsi sebagai guru tetapi juga sebagai pemimpin.

Dalam ketidakjelasan hubungan madrasah abad 11-12 di Timur Tengah dengan pesantren di Indonesia tersebut, sejarah pertumbuhan madrasah di Indonesia agaknya tetap dianggap sebagai memiliki latar belakang sejarahnya sendiri dan ini dikembalikan pada situasi awal abad 20. Hal ini mengasumsikan bahwa madrasah di Indonesia bukanlah madrasah dalam tradisi pendidikan Islam abad 11-12 seperti di Timur Tengah; namun sangat dimungkinkan ia merupakan konsekuensi dari pengaruh intensif pembaharuan pendidikan Islam di Timur Tengah masa modern.

B. Macam-macam Jenis Madrasah

Berdasarkan Tingkat Jenjang Pendidikannya

Terbagi menjadi tiga tingkat yaitu pertama Madrasah Ibtidaiyah, yang selanjutnya disingkat MI, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar. Kedua, Madrasah Tsanawiyah, yang selanjutnya disingkat MTs, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SD atau MI. Dan yang ketiga Madrasah Aliyah, yang selanjutnya disingkat MA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.

Berdasarkan Desain Pengembangannya

Madrasah dapat diaktualisasikan dengan menghadirkan tiga desain besar pendidikan madrasah: (1) Madrasah Unggulan (2) Madrasah Model, dan (3) Madrasah Kejuruan dan Reguler.

1. MADRASAH UNGGULAN

Madrasah Unggulan dimaksudkan sebagai center for excellence dan akan dikembangkan satu buah untuk tiap propinsi. Madrasah Unggulan diproyeksikan sebagai wadah penampung putra-putra terbaik masing- masing daerah untuk dididik secara maksimal tanpa harus pergi ke daerah lain. Dengan demikian terjadinya eksodus SDM terbaik suatu daerah ke daerah lain dapat diperkecil, dan sekaligus menumbuhkan persaingan sehat antar daerah dalam menyiapkan SDM mereka.

Karena menjadi center for excellence anak-anak terbaik maka kesempatan belajar di kedua jenis madrasah ini haruslah melalu proses seleksi yang ketat dan dengan berbagai ketentuan lainnya. Madasah ini diperkuat oleh keberadaan Majlis Madrasah yang juga memiliki peran penting terhadap pengembangannya.

2. MADRASAH MODEL

Madrasah Model dimaksudkan sebagai center for excellence yang dikembangkan lebih dari satu buah untuk tiap propinsi. Madrasah Model diproyeksikan sebagai wadah penampung putra-putra terbaik masing-masing daerah untuk dididik secara maksimal tanpa harus pergi ke daerah lain. Sebagaimana pada Madrasah Unggulan, keberadaan Madrasah Model juga dapat mencegah terjadinya eksodus SDM terbaik suatu daerah ke daerah lain disamping juga dapat menstimulir tumbuhnya persaingan sehat antar daerah dalam menyiapkan SDM mereka.

Karena menjadi center for excellence anak-anak terbaik maka kesempatan belajar di kedua jenis madrasah ini haruslah melalu proses seleksi yang ketat dan dengan berbagai ketentuan lainnya. Sebagimana Madrasah Unggulan, Madrasah Model juga diperkuat oleh Majelis Madrasah yang memiliki peran penting dalam membantu meningkatkan kualitas pembelajaran di Madrasah Model.

3. MADRASAH REGULER ATAU KEJURUAN

Madrasah Reguler atau Kejuruan adalah madrasah yang fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan pendidikan kepada setiap masyarakat tanpa terkecuali. Madrasah ini dibangun beberapa buah untuk tiap kabupaten sesuai dengan kebutuhan dengan dana dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Tingkat II). Yang pasti di setiap kecamatan terdapat minimal satu madrasah regular/kejuruan. Sebagaimana jenis madrasah lainnya. Madrasah Reguler/ Kejuruan juga diperkuat oleh Majelis Madrasah yang secara aktif membantu pengembangan madrasah.

C. Corak Pembaharuan yang dilakukan

· Faktor Pembaharuan Islam

Faktor pembaharuan ini diawali oleh usaha sejumlah tokoh intelektual agama Islam yang dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam baik di Jawa, Sumatra dan Kalimantan. Bagi kalangan pembaharuan pendidikan agaknya senantiasa dipandang sebagai aspek strategis dalam membentuk pandangan keislaman masyarakat. Kenyataannya pandangan keislaman ini kurang memberikan perhatian kepada masalah sosial, politik, ekonomi, budaya serta teknologi. Karena langkah yang ditempuh adalah memperbaharui sistem pendidikannya.

Munculnya gerakan pembaharuan ini menurut Karel A Steenbrink akibat empat faltor. Pertama, Faktor keinginan kembali pada Al Quran Hadits. Kedua, semangat nasionalisme dalam melawan penjajah. Ketiga, faktor memperkuat basis gerakan social, ekonomi, budaya dan politik. Keempat, faktor pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.

Usaha pembaharuan kenyataan menimbulkan perselisihan antara kaum muda yang mewakili kaum pembaharuan dan kaum tua yang mewakili kaum konservatif. Kaum muda menentang penggunaan adat dalam praktek keagamaan. Sedang kaum tua berangggapan bahwa selama adat tersebut tidak berasal dari jahiliyah dan tidak bertentangan ajaran Islam maka hal itu boleh dilakukan.

Ide pembaharuan Islam ini lahir dari para cendikiawan muslim timur tengah seperti Jamaludin al Afghani dan Muhammad Abduh. Kaum pembaharuan berusaha membuktikan bahwwa Islam bukanlah penghambat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, hal ini sebagai respon terhadap pandangan kaum orientalis yang menganggap remeh Islam sebagaido penghalang ilmu pengetahuan.

Westernisasi terhadap pendidikan mendapat penolakan karena dianggap kebarat-baratan dan sekuler. Dalam perkembangannya Al Afghani meyakinkan perlunya perubahan pendidikan tetapi tetap atas dasar nilai-nilai Islam. Penolakan ini sama halnya ketika masuk ide pembaharuan di Indonesia. Bagi kaum pembaharuan, cara pendidikan tradisional yang tertumpu semata pada pengajaran agama saja merupakan target untuk pembaharuan (Maksum: 1999).

· Peningkatan Kualitas Madrasah

Ketika awal masa kemerdekaan RI sampai adanya SKB Tiga Menteri, madrasah dengan persentase lumayan masih konsisten berdiri di atas orientasinya sendiri. Perubahan struktur sosial kemudian mendorong pesantren menyesuaikan diri dengan kebutuhan mendasar yang dipolakan oleh sistem pendidikan nasional. Berbagai komponen bidang studi yang semula belum menjadi wilayah garapan madrasah, lalu muncul (Khozin: 2003).

Dulu madrash hanya mengenal sistem klasikal dalam bentuk shiff (kelas) satu sampai dengan enam atau sampai belasan (seperti di Madrasah Mamba’ul Ulum). Kini, pengelolaannya semakin meningkat dengan sistem manajerial madrasah. Ada komponen kurikulum secara teratur, ketatausahaan yang lengkap dan sebagainya. Pendek kata, madrasah mulai berusaha mengembangkan dirinya sesempurna mungkin, sebagai sisi lain dari sistem pendidikan nasional, terutama pada waktu lembaga ini menjadi rival Departeman Agama dengan kebijaksanaanya membentuk MWB (Madrasah Wajib Belajar).

Bila pada awal kemerdekaan, madrasah pada galibnya menolak campur tangan pemerintah, sikap itu muncul terutama karena negara baru ini berwatak duniawi dan nasionalistis. Sedangkan madrasah yang dikelola swasta memiliki tradisi keagamaan. Mulai masa MWB itu, rnadrasah mengakomodasikan sikap. Subsidi pemerintah dalam bentuk material mulai diterima. Maknanya, ia mulai membuka keterlibatan pemerintah dalam dunianya. Guru Agama Negeri -walaupun secara selektif- mulai diterima, bahkan menjadi kebutuhan terutama bagi yang kekurangan tenaga guru.

Ide peningkatan madrasah yang datang dari pemerintah untuk mengubah orientasi kepada pola sistem pendidikan mulai diterima, sekurang-kurangnya dipertimbangkan. Kurikulum mulai dibicarakan bentuk dan ragamnya yang sesuai dengan peningkatan kualitasnya. Sejak ini, banyak perubahan-perubahan besar di madrasah. Akan tetapi secara ideal saat itu madrasah masih dapat konsisten pada titik tekan disiplin ilmunya, walaupun dipandang dari sudut prestasinya mengalami penurunan.

Ilustrasi di atas memperlihatkan, madrasah mampu menunjukkan daya adaptasi untuk menyerap unsur-unsur inovasi. Lebih dari itu, madrasah mempunyai daya tangkap terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sekelilingaya.

Yang menjadi masalah sekarang ialah, apakah proses penyerapan unsur-unsur baru dan perubahan hasil daya tangkap terhadap persoalan masyarakat itu memperkuat identitasnya semula (karakter keagamaan dan kemandiriannya), atau justru memperlemah dan akhirnya menghilangkan sama sekali identitasnya? Apakah proses dan perubahan itu memberikan makna baru bagi identitas lama tersebut?

Suatu fenomena lain yang merupakan kelanjutan dari proses itu ialah ketika SKB Tiga Menteri tahun 1975 diterapkan pada madrasah. Sejak itu madrasah dituntut mengikuti berbagai perkembangan sosial lebih jauh lagi dan beradaptasi dengan pola hidup masyarakat. SKB itu sebenarnya merupakan bentuk legalisasi saja dari tuntutan itu.

Mulailah madrasah menstandarkan kurikulumnya dengan sekolah dan madrasah negeri. Apalagi setelah terbukanya kesempatan penegerian madrasah atau sekurang-kurangnya memfilialkan dengan negeri, ujian persamaan negeri dan UUB di madrasah.

Perubahan di madrasah kini tidak hanya terjadi pada kurikulum silabusnya dengan literatur yang baru, akan tetapi wawasannya juga berubah. Pendidikan di madrasah mulai berimplikasi pada kebutuhan hidup murid dan status sosial mereka di masa mendatang. Ijazah formal madrasah, ijazah hasil ujian persamaan negeri menjadi amat penting dan berpengaruh mengubah pandangan ke arah duniawi.

Nilai belajar li wajhillah mulai pudar atau hilang sama sekali, digeser oleh niat lil ijazah. Pandangan priyayiisme yang dulu ditentang oleh madrasah, sekarang justru ditolerir. Penilaian prestasi madrasah diukur secara kuantitatif dengan banyak sedikitnya siswa yang lulus ujian negeri. Komponen pendidikan agama menjadi sesuatu yang rutin saja. Rasa ketergantungan kepada pihak lain mulai menggeser watak kemandiriannya.

Gambaran di atas menunjukkan adanya perubahan nilai di madrasah. Orientasi dan titik-tekan materi pendidikan yang secara esensial menjadi identitasnya semula, menjadi hambar dengan konsekuensi mengubah posisi madrasah menjadi tidak jelas. Akhirnya madrasah di mata para peserta didik yang kritis, kurang mendapat perhatian kecuali kadang-kadang dianggap hanya sebagai tempat pelarian belajar.

· Madrasah di Era Modern

Persepsi masyarakat terhadap madrasah di era modern belakangan semakin menjadikan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik. Di saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, di saat filsafat hidup manusia modern mengalami krisis keagamaan (Haedar Nashir, 1999) dan di saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya, keberadaan madrasah tampak makin dibutuhkan orang.

Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang kaku dan aturan-aturan lain yang menimbulkan kesan madrasah sebagai ‘sapi perah’, madrasah yang memiliki karakteristik khas yang tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya itu menjadi salah satu tumpuan harapan bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan model pendidikan sekolah, madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai lingkungan.

Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah barang yang asing, karena memang lahirnya madrasah merupakan inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat penguasaan materi yang dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang disertai audio visual aids, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang selama itu melekat pada pesantren sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat metropolit makin tidak malu mendatangi dan bahkan memasukkan putra-putrinya ke pesantren dengan model pendidikan madrasah. Baik mereka yang sekedar berniat menempatkan putra-putrinya pada lingkungan yang baik (agamis) hingga yang benar-benar menguasai ilmu yang dikembangkan di pesantren tersebut, orang makin berebut untuk mendapatkan fasilitas di sana. Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, misalnya, penuh dengan putra putri konglomerat, sekali daftar tanpa mikir bayar, lengkap sudah fasilitas didapat. Ma’had Al-Zaitun yang berlokasi di daerah Haurgelis (sekitar 30 KM dari pusat kota Indramayu), yang baru berdiri pada tahun 1994, juga telah menjadi incaran masyarakat modern kelas menengah ke atas, bahkan sebagian muridnya berasal dari negara-negara sahabat, seperti Malaysia, Singapura dan Brunai Darussalam. Dengan demikian, model pendidikan madrasah di lingkungan pesantren telah memiliki daya tawar yang cukup tinggi.

Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan madrasah akhir-akhir ini dirasa cukup tinggi. Pengembangan madrasah di pesantren yang pada umumnya berlokasi di luar kota dirasa tidak cukup memenuhi tuntutan masyarakat. Oleh karena itu banyak model pendidikan madrasah bermunculan di tengah kota, baik di kota kecil maupun di kota-kota metropolitan. Meskipun banyak madrasah yang berkembang di luar lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan etika agamanya tetap menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam. Etika pergaulan, perilaku dan performance pakaian para santrinya menjadi daya tarik tersendiri, yang menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat sebagaimana tujuan pendidikan Islam (Al-Abrasyi, 1970; Jalaluddin dan Said, 1996).

Realitas menunjukkan bahwa praktek pendidikan nasional dengan kurikulum yang dibuat dan disusun sedemikian rupa bahkan telah disempurnakan berkali-kali, tidak hanya gagal menampilkan sosok manusia Indonesia dengan kepribadian utuh, bahkan membayangkan realisasinya saja terasa sulit. Pendidikan umum (non madrasah) yang menjadi anak emas pemerintah, di bawah naungan Depdiknas, telah gagal menunjukkan kemuliaan jati dirinya selama lebih dari tiga dekade. Misi pendidikan yang ingin melahirkan manusia-manusia cerdas yang menguasai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kekuatan iman dan taqwa plus budi pekerti luhur, masih tetap berada pada tataran ideal yang tertulis dalam susunan cita-cita (perundang-undangan). Tampaknya hal ini merupakan salah satu indikator dimana pemerintah kemudian mengakui keberadaan madrasah sebagian dari sistem pendidikan nasional.

Pendidikan moral yang dilaksanakan melalui berbagai cara baik kurikuler (Pendidikan Nasional dan Ketahanan Nasional atau PPKN) maupun ko kurikuler (Penataran P-4) telah melahirkan elit politik yang tidak mampu tampil sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) bahkan memberikan kesan korup dan membodohi rakyat. Kegiatan penataran dan cerdas cermat P-4 (Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila) tidak lebih dari aktivitas ceremonial karakteristik. Disebut demikian karena kegiatan tersebut telah meloloskan para juara dari peserta yang paling mampu menghafal buku pedoman dan memberikan alasan pembenaran, bukan mereka yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancsila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, para peserta penataran atau cerdas cermat P-4 berlomba-lomba menghafal butir-butir Pancasila tanpa berusaha melaksanakannya di dalam kehidupan nyata. Itulah di antara faktor yang mempengaruhi turunnya moralitas bangsa ini (Dradjat, 1971).

Setelah kebobrokan moral dan mental merebak dan merajalela, orang baru bangun dan sadar bahwa pendidikan moral yang selama ini dilakukan lebih berorientasi pada pendidikan politik pembenaran terhadap segala pemaknaan yang lahir atas restu regim yang berkuasa. Upaya pembinaan moral yang bertujuan meningkatkan harkat dan martabat manusia sesuai dengan cita-cita nasional yang tertuang dalam perundang-undangan telah dikesampingkan dan menjadi jauh dari harapan.

Keberhasilan pendidikan secara kuantitatif didasarkan pada teori Benjamin S. Bloom (1956) yang dikenal dengan nama Taxonomy of Educational Objectives, yang mencakup tiga domain yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Meskipun demikian, keberhasilan output (lulusan) pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan kognitif. Artinya, anak yang tidak pemah shalat pun, jika ia dapat mengerjakan tes PAl (Pendidikan Agama Islam) dengan baik maka ia bisa lulus (berhasil), dan jika nilainya baik, maka ia pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Lain halnya dengan outcome (performance) seorang alumni Madrasah, bagaimanapun nilai raport dan hasil ujiannya, moral keagamaan yang melekat pada sikap dan perilakunya akan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan lembaga pendidikan yang menjadi tempat ia belajar. Karena itulah keberhasilan out-come disebut keberhasilan afektif dan psikomotorik.

Bagi lembaga pendidikan “Madrasah”, kedua standar keberhasilan (output dan outcome) yang mencakup tiga domain taxonomy of educational objectives, tidak dapat dipisahkan. Di samping Madrasah mendidik kecerdasan, ia juga membina moral dan akhlak siswanya (Al-Abrasyi, 1970; Abdullah, 1994). Itulah nilai plus madrasah dibandingkan sekolah umum yang menekankan pembinaan kecerdasan intelek (aspek kognitif).

D. Prospek Madrasah di Masa Depan (Peluang dan Tantangan)

1. Peluang Pengembangan Madrasah

Peluang biasanya diartikan sebagai kesempatan yang muncul secara eksternal yang memungkinkan seseorang melaksanakan keinginan atau mencapai tujuan yang mungkin terpendam. Dalam hal ini akan digunakan struktur analisa PEST (politik, ekonomi, social dan teknis) yang biasa digunakan dalam marketing (Furchan: 2004).

1.1. Politik

Kebijakan pemeritah di bidang pendidikan (khususnya tentang madrasah) dapat mepengaruhi, baik secara positif maupun negative, perkembangan madrasah.pengembangan madrasah unggulan khususnya di Jawa Timur kebijakan pemerintah amat mendukung. Hal ini tampak dalam strategi pencapaian sasaran pendidikan dalam Repelita IV yang antara lain berupa “pengembangan program sekolah-sekolah unggulan sebagai center of excellence dengan maksud sekolah-sekolah lain di sekitarnya terangsang untuk meningkatkan mutu pendidikannya (Dekdikbud, 1995).

Di lingkungan Departemen Agama, Menteri Agama telah menetapkan prioritas utama dalam peningkatan pendidikan dasar dan menengah pada madrasah termasuk penyelanggaraan madrasah model dan madrasah terbuka.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari segi politik, situasi amat membantu pengembangan madrasah unggulan di berbagai di Indonesia. Pemerintah memang menginginkan berkembang banyak madrasah unggulan dan bersedia menyediakan dana untuk membantu pengembangan itu.

1.2.Ekonomi

Pengembangan madrasah unggulan jelas memerlukan dana yang banyak. Penyediaan fasilitas pendidikan yang memadai memerlukan dana yang tidak sedikit. Melihat fenomena yang ada saat ini sekolah-sekolah favorit biasa identik dengan sekolah yang uang masuknya mahal. Ini menunjukkan bahwa masyarakat tampaknya masih mau menyumbangkan sebagian uangnya bagi peningkatan kualitas pendidikan anaknya.

1.3.Sosial

Suatu madrasah tidak mungkin dapat dikembangkan menjadi madrasah unggulan kalau masyarakat di sekitarnya tidak membutuhkan hal itu. Dukungan masyarakat sekitar amat dibutuhkan bagi pengembangan madrasah unggulan.

1.4.Teknis

Faktor teknis yang perlu ditimbangkan dalam rangka pengembangan madrasah unggulan adalah apakah wilayah tersebut secara teknis dapat meningkatkan madrasah menjadi madrasah unggulan. Sudah banyak khususnya di Jawa Timur pelatihan sumber daya manusia, baik segi wawasan, pengetahuan maupun ketrampilannya. Seperti tersedianya Fakultas Tarbiyah sebagai peningkatan sumber daya manusia, dan pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh balai diklat.

2. Tantangan Madrasah Unggulan

a. Kondisi Madrasah

Kondisi sebagian madrasah masih berada di bawah standar. Mulai dari sarana dan prasana yang kurang memadai, ketenagaan, maupun menejemennya. Penegrian madrasah karena alasan yayasan tidak sanggup lagi mengorganisasikan sehingga diserahkan pada pemerintah juga tidak sedikit. Keadaan seperti ini kurang mendukung untuk menuju madrasah unggulan.

b. Sumber Daya Manusia

Masih sedikitnya tenaga pengajar yang professional terutama dalam hal mengembangkan sekolah unggulan. Rata-rata tenaga pengajar madrasah maasih setingkat PGA. Sedikit sekali para pengajar yang melanjutkan studinya dalam rangka peningkatan kualitas.

c. Kualitas Kepala Madrasah

Kualitas sebagian besar kepala madrasah (terutama madrasah negeri) juga merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi. Berdasarkan informasi, selama ini proses pengangkatan untuk menjadi kepala madrasah negeri cenderung masih didasarkan pada senioritas dan urutan pengangkatan, bukan pada kemampuan manajemen dan potensinya untuk memajukan madrasah.

Mengingat peluang dan tantangan di atas, madrasah harus melakukan pembenahan dalam pengelolaanya baik yang berkaitan dengan manajemen madrasah, sumber daya pengeloa pendidikan, pendanaan, evaluasi, proses dan sebagainya. Pembenahan madrasah dapat mencakup beberapa ruang lingkup diantaranya adalah pada aspek manajemen sekolah termasuk pembinaan dan pengembangan sumber daya guru dan ketenagaan, kegiatan pembelajaran, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sekolah, membangun tiem work dan menciptakan kepemimpinan yang yang demokratis dan profesional.

DAFTAR PUSTAKA

Fadjar, M.A. (1998). Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan.

Furchan, Arief. (2004). Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media

Khozin. (2003). Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia. Malang: UMM Press.

Maksum. (1999). Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Nashir, H. (1999). Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sarijo, M. (1980). Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti.

Suwito. (2005). Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.

 

W3C Validations

Cum sociis natoque penatibus et magnis dis parturient montes, nascetur ridiculus mus. Morbi dapibus dolor sit amet metus suscipit iaculis. Quisque at nulla eu elit adipiscing tempor.

Usage Policies